Categories
Opini

Individualisme Dilihat Dari Perspektif Filsafat Egoisme Max Stirner

Individualisme memang mengalami pasang-surut dari tradisi pemikirannya, gerakan akar rumput-nya (grass-root) hingga definisinya yang tidak menentu: bahkan seringkali dan sampai hari dimaknai sebagai sesuatu yang negatif. Dari India kuno hingga pada peradaban Yunani, individualisme pun senantiasa didiskusikan, meskipun belum merujuk dan menggunakan kata ‘individualisme’. Dan pada abad 19, individualisme serta diskursus tentangnya mulai naik dan diberikan panggung yang besar. Akan tetapi, usaha redefinisi di era ini pun masih masing silang sengkarut karena para individualis maupun teoritikus individualisme saling mempertentangkan satu sama lain. Hingga muncul diskusi mengenai pemberontakan dan otonomi-diri, yang akhirnya memacu dan membuat para individualis harus mampu bermanuver menantang tradisi pemikiran yang lainnya. Hidup diambang kehancuran dengan pro dan kontra kekerasan, alienasi maupun ambiguitas, tapi individualisme tetap berdiri kokoh di setiap tradisi pemikiran setelahnya: hingga hari ini.

Dalam sejarahnya yang begitu panjang—yang terbentang dari Eropa, daratan China, Asia hingga di Amerika—individualisme (pernah) berada dipanggung besar dalam tradisi pemikiran para pemikir politik, ekonomi, sosial dan tentunya filsafat. Oleh karena itu, dengan melihat perkembangannya hingga hari ini, dimana definisi atasnya semakin kabur dan serba berkonotasi negatif, maka tak ayal masyarakat hari ini akan memaknainya sebagai bentuk dari sebuah tindakan yang mementingkan diri saja.

Banyak literatur yang telah ditulis—namun tentunya akan sulit untuk mengaksesnya—oleh banyak individualis maupun para penulis (baca: teoritikus) yang tertarik pemikiran tersebut. Sebuah poin penting bagi penulis, dan sebagai bentuk redefinisi atas individualisme dalam artian sebenarnya, adalah ketika penulis menemukan bahwa kecenderungan individualisme yang kini tidak memiliki panggung dalam masyarakat kita dan selalu disematkan dalam kerangka pemikiran liberal, telah ada dan terus berjuang agar tetap hidup selama ratusan tahun.

Melawan arus dalam tradisi pemikiran yang berdasarkan komunalisme, kolektivisme atau sosialisme a la vanguardisme, ternyata tak membuat individualisme merangkak di belakang sejarah kita. Individualisme bahkan pernah—jangan samakan dengan bentuk tuntutan dalam frame pemikiran liberal, tapi bandingkan!—mencapai titik tertingginya, dan ia sekali lagi diakui sebagai bentuk pengembalian hidup manusia kepada asalinya (baca: hakikat manusia).

Ketika individualisme berusaha menawarkan dan terus-menerus memperbaharui kerangka pemikirannya, maka kita takkan pernah lepas dari kata “pemberontakan”, “politik-diri”, “otonomi”, “hak”, “privasi”, “properti pribadi”, “egoisme”, “kebebasan total” ataupun hal-hal lainnya yang berhubungan dengan erat dengan individu. Disini akan kita temukan definisi sebenarnya dari kata-kata yang bertebaran tersebut.

Dalam tulisan ini, penulis ingin menarik garis batas individualisme dengan filsafat egoisme milik Max Stirner guna melihat sejauh mana individualisme dapat diradikalkan dan kritikan egoisme terhadap individualisme, terutama atas arus dan respon kebangkitan liberalisme dan semangat Abad Pencerahan.

 

Biografi Singkat Max Stirner

Lahir pada tanggal 25 Oktober 1806 di kota Bavre Bayreuth dengan nama lengkap Johann Kaspar Schmidt. Ayahnya bernama Albert Christian Heinrich Schmidt dan Ibunya bernama Sophia Elenora Reinlein. Nama “Stirner” dia dapatkan ketika masuk sekolah dasar. Kata “Stirner” sendiri adalah sebuah lelucon dalam bahasa Jerman. Teman-teman memanggilnya demikian karena mengacu pada dahi besar yang dia miliki. Meskipun dia tidak suka dipanggil dengan nama seperti itu, namun kelak dia menggunakan nama tersebut sebagai nama samarannya, sebelum akhirnya ia mempublikasikan nama yang kita kenal sampai sekarang sebagai “Max Stirner”.

Selepas lulus dari sekolah menengah atas, hidup Stirner seperti diatas angin. Dia berhasil melanjutkan pendidikannya di Universitas Berlin dan Erlangen dengan cukup mudah. Selama masa perkuliahan, Stirner menyibukkan diri dengan berfokus mempelajari filologi, filsafat dan teologi. Apa yang dia dapatkan selama perkuliahan merupakan batu loncatan pertama baginya guna mendalami apa yang dia temukan di universitas Berlin dan Erlangen. Dia berkesempatan mengikuti kuliah salah satu filsuf termasyhur kala itu, George Wilhelm Friedrich Hegel, untuk mempelajari lebih mendalam tentang filsafat secara umum, filsafat agama dan Roh Subyektif milik Hegel. Setelah menghsbiskan masa studinya dan yakin itu akan membawanya perubahan, dia memutuskan untuk kembali ke tempat tinggalnya, tempat kelahirannya, Bavaria. Di pertengahan 1830-an, Stirner kembali ke Berlin untuk mencari kesempatan bekerja dengan mengejar sertifikat pengajaran yang dia pikir akan berguna di Bavaria, sialnya, dia ditolak.

Dalam rentang yang hampir bersamaan, tahun 1840-an di Jerman terdapat kelompok pemikir radikal bernama Die Freien (The Ones Free). Kelompok ini berisikan deretan nama-nama yang hingga hari ini kita kenal, para filsuf muda, pemikir revolusioner. Para “Titan” ini adalah Karl Marx, Friedrich Engels, Bruno Bauer, Arnold Ruge dan Max Stiner.  Kelompok ini mengidentifikasikan diri merka sebagai Hegelian Muda, yang beranggapan bahwa telah mengubah filsafat mendasar Hegel tentang agama yang begitu bertentangan dengan Hegelian Tua. Sekalipun kelompok Die Freien adalah kelompok yang mengahbiskan waktunya untuk mabuk dan berpesta pora, tentu kalian tidak akan terkejut kalau semua anggotanya akan menjadi para pemikir yang sering menjadi ajuan bagi orang-orang hari ini.

Magnum opus-nya, Der Einzige und sein Eigentum yang terbit pada 1844 menjadi bentuk kritikan keras terhadap agama, filsafat berbasis kolektivisme dan negara. Ini adalah satu-satunya karya Stirner yang merangkum keseluruhan pemikirannya. Dengan tegas ia mengatakan hukum, hak kepemilikan, tuhan, agama, dan bahkan gagasan masyarakat adalah “hantu” (spook). Dampak historis dari Der Einzige und sein Eigentum kadang-kadang sulit untuk dinilai, tetapi karya Stirner dapat dengan yakin dikatakan: memiliki dampak langsung dan merusak pada gerakan kiri-Hegel; telah memainkan peran kontemporer yang penting dalam perkembangan intelektual Karl Marx; dan secara signifikan telah mempengaruhi tradisi politik anarkisme individualis. Dalam bukunya tersebut, Stirner memberikan serangan besar-besaran terhadap dunia modern yang semakin didominasi oleh cara berpikir “religius”, absolutisme rasio dan institusi sosial yang menindas, bersama dengan sketsa yang lebih singkat tentang alternatif “egois” radikal di mana otonomi individu mungkin berkembang.

Orang yang akrab dengan filsafat dan ilmu sosial akan mengenali istilah eksistensialisme, post-modernisme, dan anarkisme bersama dengan nama yang berderet seperti; Albert Camus, Friedrich Nietzsche, Karl Marx, Friedrich Engels dan berbagai lainnya dengan relatif mudah. Meskipun nama dan gagasan ini membentang selama dua abad, mereka semua–para filsuf maupun pemikir–saling berbagi dan saling memperbaharui pemikiran-pemikiran para filsuf atau pemikir sebelumnya. Setidaknya, sebagian besar dari filsafat atau pemikiran tadi berhulu pada Max Stirner.

Dia meninggal disebabkan oleh gigitan serangga—mungkin malaria—yang mengakibatkan beberapa sarafnya mati. Stirner meninggal dalam usia yang relatif muda, 49 tahun, pada 25 Juni 1856. Sekalipun terdapat kontradiksi yang menyebutkan bahwa Stirner tak berkelindan dengan pemikirannya selama masa hidupnya dan kehidupannya yang begitu jauh dengan peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah dunia, namun, terdapat pendapat yang menarik dari salah satu orang yang “menghidupkan” kembali Stirner, John Mackay: “kehidupan Stirner adalah perwujudan otentik dari pelepasan emosional yang harus dipupuk oleh egoisme untuk menghindari diperbudak oleh hasrat dan komitmennya sendiri” (Mackay: 2017).

 

Selayang Pandang Filsafat Egoisme

Secara umum, egoisme dapat diartikan sebagai paham yang mengatakan bahwa memenuhi kepentingan pribadi merupakan yang terpenting dan urgensi dari kepentingan diri sendiri lebih tinggi di atas kepentingan orang lain. Namun seringkali, egoisme dinilai ambigu karena arti normatifnya mengarah pada pengertian buruk. Ini merupakan sebuah kesalahan untuk menghubungkan egoisme dan egostisme atau selfish secara bersamaan. Egoisme berasal dari kata “ego”, yang merupakan bahasa latin dari kata “saya”. Setiap orang di sekitar kita memiliki ego yang membuat kita semua memiliki dorongan untuk melayani diri kita sendiri, aku, kedirian (Tadano: 2020).

Untuk membebaskan ambiguitas egoisme, kita perlu merujuk pada tindakan individu. Tindakan individu, sebagai bentuk pemenuhan kepentingan diri sendiri, tidak akan bermakna negatif karena ia bertolak dari penghormatan ego masing-masing individu. Yang artinya, egoisme adalah tentang memaksimalkan kepentingan diri kita tanpa harus mereduksi atau meniadakan tiap keunikan individu. Egoisme berarti merangkul ego yang ada di dalam diri kita semua; hidup untuk diri kita sendiri dan untuk menghormati ego, keunikan, dan kepribadian satu sama lain (Tadano: 2020). Sebagai sebuah filsafat tindakan, egoisme dapat kita lihat dan kita hubungkan dengan kehendak dan motif individu.

Egoisme adalah teori tentang kehendak sebagai reaksi diri terhadap suatu motif (Walker: 2012). Motif adalah apa yang membuat individu itu hidup dan ada. Motif adalah pengaruh apa pun—penglihatan, suara, tekanan, pikiran atau energi lain—yang bekerja pada diri kita dan menyebabkan perubahan dalam diri kita, di mana proses itu bereaksi untuk menangkap apa yang berkontribusi pada kepuasannya atau untuk mengusir atau melarikan diri dari apa yang menghasilkan atau mengancam ketidaknyamanan atau kehancuran yang tidak diinginkan. (Walker: 2012). Melalui pandangan singkat ini, egoisme sama sekali tidak bermakna negatif; secara normatif, ia lebih advance dibandingkan sikap altruistik—ini yang sering menjadi perdebatan, apakah altrusitik dapat dilihat memiliki kesamaan dengan egoisme, jika ia diartikan dalam tindakan. Sikap altruistik merupakan sikap yang mereduksi keindividuan dengan menyerahkan dirinya dan kepentingannya demi orang lain; ia mereduksi dirinya sebatas kepentingan orang lain yang berada di atas yang mengontrol dirinya. Lalu bagaimana dengan egoisme? Mengapa kami bekerja dengan orang lain? Itu adalah demi memenuhi kepentingan kita sendiri (Tadano: 2020). Bagi Stirner sendiri, ego adalah pusat dunia; ke mana pun ia memandang, ia menemukan dunia itu sendiri—sejauh kekuatan yang ia miliki, Stirner menulis:

“Saya mencintai manusia juga—bukan hanya individu, tetapi setiap orang. Tapi saya mencintai mereka dengan kesadaran egoisme; Saya mencintai mereka karena cinta membuat saya bahagia, saya mencintai karena cinta itu alami bagi saya, karena ia menyenangkan saya. Saya tidak tahu ‘perintah cinta.’ Saya memiliki sesama perasaan dengan setiap makhluk perasaan, dan siksaan siksaan mereka, kesegaran mereka menyegarkan saya juga; Saya bisa membunuh mereka, bukan menyiksa mereka.” (Stirner: 2017)

Stirner tidak mengatakan bahwa dia ingin kebebasannya dibatasi oleh persamaan kebebasan orang lain; sebaliknya, dia percaya bahwa kebebasan dan kediriannya hanya dibatasi oleh kekuatan yang dia miliki untuk mencapainya (Max Baginski: 1907). Egosime menyaratkan bahwa individu harus memiliki prinsip (self-principle) yang memungkinkan kekuatannya dapat memenuhi kepentingan diri tanpa harus membenturkan kebebasannya pada kepentingan orang lain; egoisme adalah tentang prinsip diri, yang menyangkut doktrin individualitas atas pemenuhan kepentingan pribadi (Walker: 2012).

 

Selayang Pandang Individualisme

 Individualisme secara umum berarti sebuah doktrin yang berpendapat bahwa kepentingan individu adalah yang terpenting secara etis; konsepsi bahwa semua nilai, hak, dan kewajiban berasal dari individu; teori yang mempertahankan kemandirian politik dan ekonomi individu dan menekankan inisiatif, tindakan, dan kepentingan individu; Individu bertanggung jawab sampai pada keputusan moral yang dia ungkapkan bagi dirinya sendiri dan membuat peraturannya sendiri. Term Individualisme sendiri pertama kali digunakan pada abad 18 sebagai respon pemikiran abad Pencerahan terhadap pemikiran-pemikiran masyarakat konservatif Eropa selama revolusi Prancis (Steven Lukes: 1971). Individualisme ingin kembali mengangkat dan menarik sejarah manusia untuk kembali kepada hakikatnya; ia bebas atas tindakannya dan tidak ada yang mendikte dirinya.

Pepatah lama mengatakan bahwa tuhan telah memberikan kecerdasan dan pikiran kepada setiap manusia sebagai bukti bahwa manusia secara umum memiliki kehendak atas dirinya; “seperti sungai yang mengalir dan memenuhi lautan, ia tetap eksis ditengah-tengah lautan luas sebagai dirinya sekalipun bersama aliran sungai-sungai yang lain; yang tak bernama dan memiliki perbedaan masing-masing” (Steven Lukes: 1971). Individualisme menuntut dan ingin menghancurkan tiap tatanan hukum dan moral yang meletakkan minat, gairah, dan perbedaan pendapat sebagai momok yang ditakutkan oleh para pemikir konservatif; ia ingin meletakkan pemahaman bahwa individu bukan berdiri di bawah kelompok, ia independen darinya.

Namun, individualisme dinilai hanya ingin menciptakan keadaan anarki yang dapat menuntun pada kesimpulan bahwa doktrin individualisme yang berkutat pada minat individu hanya bertujuan untuk mengarahkan pada pertentangan dan kebenciannya terhadap kekuasaan. Jika melihat konteks era itu, hal ini lebih masuk akal daripada membandingkan individualisme sebagai selfish; individualisme dapat dilihat sebagai pembebasan total terhadap absolutisme agama.

Dalam artian modern, individualisme dikembangkan oleh para pemikir liberal. Individualisme dilihat dan bekerja di banyak ranah dengan berbagai metode. Patut digarisbwahi bawah individualisme di tiap tempat dapat dibedakan. Hal ini berguna untuk melihat individualisme secara pengertian umum. Sebagai contoh, individualisme di Eropa lebih condong pada kebebasan politik yang mengarah pada pembebasan individu dengan segala atributnya; sedangkan individualisme, seperti halnya Benjamin Tucker, dapat dilihat sebegai individualisme yang berputar di sekitar kepemilikan harta benda.

 

Filsafat Egoisme: memandang individualisme dan kritiknnya terhadap individualisme

Egoisme Stirnerite seringkali dihubungan dengan individualisme. Dalam artian umum dapat dilihat keduanya mempunyai kesamaan: individu sebagai hal terepenting. Namun dalam beberapa hal, keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Sebagai contoh, dalam egoisme, individu melihat dirinya sebagai lokus untuk kepentingan dirinya namun dalam arti khusus ia tidak meniadakan bahwa lokus itu akan sama dengan individu lain, tidak menafikan keberadaan individu lain. Egoisme Stirner didasarkan atas ketidakpercayaannya terhadap “hantu-hantu” yang menetapkan individu di bawah kekuatan di luar dirinya (agama, moralitas, hukum, negara dan rasionalitas absolut). Sedangkan individualisme masih percaya pada peran negara, hukum bahkan rasionalitas sebagai basis dasar argumen mereka. “Kami berdua, Negara dan saya, adalah musuh” (Stirner: 2017). “Saya”—yang selalu merupakan ruang gerak individu—selalu dibedakan dibawah dengan sesuatu yang berada di luar diri manusia: Tuhan misalnya (Newman: 2017) Dan omong kosong ini telah dimulai jauh dari Socrates; Descartes dengan omong kosong cogitan; Kant dengan omong  kosong  imperatif kategorisnya; Hegel dengan omong kosong Roh-Absolut hingga semua filsuf yang menemukan metode-metode untuk mengacaukan “Saya”. Stirner mengatakan bahwa individu adalah ketika ia tak lagi bernama; ia tidak lagi disebut kedirinanya karena atribut yang menempel padanya.

“Hanya ketika tidak ada yang dikatakan tentang Anda dan Anda hanya disebut, Anda akan dikenali sebagai Anda. Begitu sesuatu dikatakan tentang Anda, Anda hanya dikenali sebagai benda itu”(Stirner: 2017)

Kita sebaiknya melihat bagaimana individu dan kebebasan diibaratkan sebagai imperatif kategoris di Abad Pencerahan. Kant terlihat membela kita, karena terlihat Kant dalam argumennya, “Bertindaklah seolah-olah maksim yang mendasari tindakan Anda melalui kehendak Anda sendiri, akan menjadi hukum yang universal” (Guyer: 1998). Namun pada kenyataan, Kant tidaklah seperti apa yang kita kira, karena ketika Kant membagi ciri maksim moral, individu disubordinasikan di bawah telelogi tertentu. Bagi Kant, moral hukum didasarkan pada kebebasan, namun terdapat sisi kontradiktifnya, kita sebagai individu bebas bertindak (terlihat kebebasan bermakna positif) sesuai dengan rasio yang mendasarinya, namun ia harus tetap patuh pada prinsip moral universal (kebebasan bermakna negatif).

            Dengan demikian, rasionalitas dan pengkultusan terhadap moral yang dibawa oleh semangat Abad Pencerahan tidak pernah membawa kebebasan individu secara radikal, namun hanya membungkusnya agar terlihat “saya” sebagai yang sublim; individualisme dilihat sebagai final. Kebebasan pada pengertian ini selalu membawa otoritarianisme tersembunyi. Moralitas dan rasionalitas adalah ide tetap (fixed idea) yang diibaratkan sebagai “hantu”.

Kebenaran rasional selalu dipegang di atas perspektif individu dan Stirner berpendapat bahwa ini hanyalah cara lain untuk mendominasi individu. Seperti halnya moralitas, Stirner tidak selalu menentang kebenaran rasional itu sendiri, melainkan menentang caranya menjadi sakral, transendental dan disingkirkan dari cengkeraman individu sehingga menghapuskan kekuatan individu. yang ditempatkan di luar individu dipaksakan secara opresif terhadap individu (Newman: 2017). Keduanya—moralitas dan rasionalitas—diabstraksikan di dunia dan digunakan untuk mendominasi individu dengan membandingkankan normal ideal yang tidak mungkin dicapai, yang sebenarnya merupakan fiksi diskursif yang tertutup guna menyangkal perbedaan dan pluralitas “saya”. Stirner dalam memusatkan perhatian pada cara ide-ide abstrak mendominasi kehidupan kita, melihat ide-ide ini sebagai penentu segalanya, sehingga mengabaikan basis dasarnya dalam kondisi material dan sosial yang nyata (Newman: 2004). Hal yang terpenting dari individu adalah ketika semua orang bebas bicara, yang mengisyaratkan bahwa kita semua berbeda dan unik. Striner menyebutnya sebagai “Yang-Unik”, karena tidak ada lagi yang dapat diradikalkan hingga ia tidak memiliki nama lagi. Yang-Unik memberikan kepada kita contoh bahwa segala kemungkinan untuk berubah adalah dasar kebebasan

Kontingensi-diri ini adalah bentuk otonomi dari individu dalam merambah kepada kebebasan yang radikal. Kita tidak mungkin berada pada keadaan yang sama setiap waktunya, dan perubahan ini mengindikasikan bahwa kebebasan tak pernah dipostulatkan dibawah rasionalitas atau moralitas. Tak ada yang sakral dan kultus selain diri kita sendiri sebagai individu yang berdiri sebagai “saya”; tak ada yang memiliki otoritas penuh pada individu; tak ada yang lebih manusiawi atas kontrol individu yang selalu ingin bicara; dan tak ada yang dapat mensubsordinasikan indvidu dibawah hantu-hantu. “Saya tidak mengandaikan diri saya sendiri, karena saya setiap saat hanya bertindak; menciptakan diri saya sendiri” (Stirner: 2017)

Melalui pandangan tersebut, dapat dilihat bahwa individualisme sangat berbeda dengan egoisme, meskipun egoisme juga membahas penuh tentang individu. Apa yang dilihat oleh Stirner adalah bahwa individualisme masih belum mencapai tujuannya sebagai bentuk pembebasan individu. Dia melihat kebusukan individualisme yang dibawa oleh semangat liberalisme Abad Pencerahan mengandung sikap otoritarian yang masih membuat individu di bawah otoritas tertentu, misal hukum dan absolutisme rasionalitas.

 

Kesimpulan

Secara umum, egoisme dapat diartikan sebagai paham yang mengatakan bahwa memenuhi kepentingan pribadi merupakan yang terpenting dan urgensi dari kepentingan diri sendiri lebih tinggi di atas kepentingan orang lain. Egoisme berasal dari kata “ego”, yang merupakan bahasa latin dari kata “saya”. Setiap orang di sekitar kita memiliki ego yang membuat kita semua memiliki dorongan untuk melayani diri kita sendiri, aku, kedirian.

Sedangkan, individualisme secara umum berarti sebuah doktrin yang berpendapat bahwa kepentingan individu adalah yang terpenting secara etis; konsepsi bahwa semua nilai, hak, dan kewajiban berasal dari individu; teori yang mempertahankan kemandirian politik dan ekonomi individu dan menekankan inisiatif, tindakan, dan kepentingan individu; Individu bertanggung jawab sampai pada keputusan moral yang dia ungkapkan bagi dirinya sendiri dan membuat peraturannya sendiri.

Individualisme sangat berbeda dengan egoisme, meskipun egoisme juga membahas penuh tentang individu. Apa yang dilihat oleh Stirner adalah bahwa individualisme masih belum mencapai tujuannya sebagai bentuk pembebasan individu. Dia melihat kebusukan individualisme yang dibawa oleh semangat liberalisme Abad Pencerahan mengandung sikap otoritarian yang masih membuat individu di bawah otoritas tertentu, misal hukum dan absolutisme rasionalitas.

Referensi:

Baginski, Max. 1907. Stirner: The Ego and His Own. Amerika Serikat: Mother Earth Vol. 2. No. 3.

Guyer, Paul. 1998. Kant’s Groundwork of the Metaphysics of Morals: Critical Essays. Lanham: Rowman & Littlefield Publisher

Lukes, Stevens. 1971. The Meanings of “Individualism”. Pennsylvania: Journal of the History of Ideas Vol. 32 No. 1, hal. 45-66

Mackay, John Henry. 2017. Max Stirner. Sein Leben und sein Werk. Berlin: Hansebooks

Newman, Saul. 2004. Spectres of Freedom in Stirner and Foucault: A Response to “Solitude and Freedom”.  Baltimore: Postmodern Culture Vol. 14, No. 3

Newman, Saul. 2017. Stirner dan Foucault: Menuju Kebebasan Pasca-Kantian. Diterjemahkan oleh Okupasi Ruang. Yogyakarta: Okupasi Ruang

Stirner, Max 2017. The Unique and Its Property. Diterjemahkan oleh Wolfi Landstreicher. Baltimore: Underworld Amusement Press

Tadano, 2020, What is Egoism?. Diakses di < https://bandilangitim.noblogs.org/2020/03/01/what-is-egoism/>, diakses pada hari Minggu, 18 Oktober 2020, pukul 15:03 WIB.

Walker, L James 2012. The Philosophy of Egois. London: Forgotten Books